Nafasku
di Ujung Akar
Ayam jago mulai bersiul dengan suara
emasnya, terdengar melompat dari satu kandang ke kandang yang lain. Awan
kembali menarik selimut pekatnya, dan raja siang seakan enggan bangun dari
singgasananya. Selang beberapa saat, kilat cahaya menghias langit yang semula
hitam pekat menjadi bercahaya di setiap pojok. Langit tengah bermuram durja,
meluapkan segala amarah dengan rintik air mata yang jatuh begitu derasnya.
Langit yang tengah menangis itu pun kembali mendapat pelukan dari sang angin
yang kemudian menggoyangkan beberapa pepohonan. Mereka yang semula tegak
berdiri dengan begitu kokoh, kemudian menjadi lihai bergoyang ke kanan dan ke
kiri. Tak lama setelah pelukan itu mengahangatkan awan beserta air matanya,
suara “Kroakk, brukkk...!”, terdengar begitu kencang, hingga gendang telinga
yang sempat menangkap suara itu seakan hampir pecah dan meledak. Beberapa warga
yang tengah bertamasya melihat indahnya patung Liberty lantas membuka kaca mata
kulitnya dan berhamburan menuju sumber suara.
Sepanjang perjalanan menuju sumber
suara itu, Mirna, gadis remaja anak seorang kepala desa yang baru seminggu
tinggal di kampungnya itu merasa heran dan tercengang melihat kondisi di
sepanjang jalan. Ia memang gadis asli kampung Tegalsari, Semin, Kabupaten
Gunungkidul, namun belum genap satu tahun ia sudah dipisahkan dari kempengan
susu ibunya. Sang ibu telah meninggal dunia ketika ia berusia tujuh bulan,
sejak itu bapaknya memercayakan Mirna di bawah asuhan mertuanya Painem di
Karangdowo Klaten. Oleh sebab itu, Mirna terheran-heran ketika melihat kampung
yang menjadi tanah kelahirannya itu. Jangankan burung bangau yang berpacaran di
pinggiran sawah, semut bergotong royong di pinggir pematang saja tak sekali pun
ia temukan di sepanjang perjalanan.
Setelah berperang melawan jalanan
yang licin bak area sky, dari kejauhan ia melihat kerumunan semut berpakaian
warna-warni.
“Woww
, ada apa ini?”, gumam Mirna lirih.
“Apa
anak tidak melihat?, dedemit di kali Kedongan sedang marah itu, karena kita
tidak memberi jenang bakal dan sesaji ketika hujan turun tadi pagi”, jelas
seorang kakek tua sambil menggerutu.
Mirna
mengernyitkan dahinya, apa-apaan ini? Tanyanya dalam hati. Ia semakin bingung
tatkala mendekati sebuah rumah yang tertimpa pohon beringin besar itu, yang
usianya ia perkirakan sudah mencapai puluhan tahun. Mirna melihat ke sekeliling
rumah itu, letaknya hanya satu jengkal dari kali, rumah itu juga dikelilingi
gundukan tanah yang menjulang tinggi, banyak batu serupa dinding putih di
samping kiri kanannya. Batu itu bak tembok yang dipahat, penuh lubang dan bekas
pacal yang di adu dengan palu.
Nampaknya itu adalah area pertambangan, tepatnya tambang batu kapur yang di
atasnya terdapat bukit dengan berjuta pohon jati yang menghias. Bisa
dibayangkan, ketika musim kawin bagi
ulat-ulat jati, dan kemudian berubah menjadi kepompong, hingga menjadi
kupu-kupu, betapa indahnya kampung ini. Ya, itu hanyalah bayangan Mirna, karena
yang nampak sekarang ini hanyalah bekas pertambangan batu kapur yang pindah
sana-sini, dan bukit tandus yang masih mengepulkan asap meski diguyur air hujan
semalam suntuk. Pohon-pohon jati yang gagah harus ditebang untuk dijadikan
kusen, amben, atau pintu. Lalu, yang kecil di tebang untuk mengepulkan dapur
tiap-tiap rumah. Selain itu, pohon lain, seperti akasia, mahoni, atau jowar
yang masih imut-imut mereka bakar tanpa sisa untuk membuka lahan pertanian.
Setelah beberapa saat Mirna
berkelana di dunia khayal, akhirnya ia kembali mengedipkan kedua matanya karna
nyamuk menghisap darah di bagian hidungnya. Mirna pun tersentak, lalu ia mulai
ikut membaur di tengah kerumunan orang yang nampak seperti semut itu. Ia ikut
membantu memunguti barang-barang yang masih bisa diamankan dari rumah tersebut.
Ada TV, radio, satu set VCD player, bantal, guling, tikat, kasur, amben, jam
dinding, pakaian, dan barang pecah belah lainnya yang sudah berganti warna
menjadi cemong kemerahan, kotor karna tanah. Ia merasa prihatin dengan kondisi
bangunan rumah tersebut yang nyaris rata dengan tanah dan batu kapur bekas
pertambangan. Untung saja, kayu beringin yang ambruk itu menimpa rumah ketika hujan
sudah reda, jadi proses evakuasi berjalan lancar. Beberapa orang yang
mengenakan seragam orange nampak
paling kompak, dengan gesit mereka mengangkat batang pohon yang sangat besar
dan tentunya berat itu dibantu beberapa warga.
Setelah proses evakuasi selesai,
nampak satu demi satu warga meninggalkan rumah tersebut, dan hanya tersisa
tenda biru tempat untuk mengungsi keluarga yang terkena musibah itu.
Rencananya, esok Pak kepala desa beserta warga akan ramai-ramai membantunya
membangun rumah sementara untuk keluarga korban tinggal, yaitu keluarga Mbah
buyut Karto. Ya, mbah Karto adalah sesepuh di kampung Tegalsari. Kini ia hanya
hidup berdua, bersama istrinya, anak-anaknya tak tahu entah kemana, setelah
anak-anaknya diangkat menjadi DPR kata orang-orang, mereka lantas tak ada
kabar. Iya, kabarnya kedua anak mbah Karto menjadi DPR semua, itulah yang sering
dilontarkan para tetangganya yang entah hanya gosip murahan seperti yang
bergeming di layar kaca TV ataukah memang fakta, mbah Karto tidak terlalu
memikirkannya.
Seminggu setelah pembangunan
kembali, akhirnya rumah mbah buyut Karto berhasil didirikan. Tak ada yang
istimewa dari rumah itu kecuali prosesi peresmiannya. Ya, di desa itu masih
mengenal istilah bancakan yaitu
sebuah upacara yang dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat kepada
para arwah sesepuh yang sudah ikut memberkati usaha mereka. Sebagai seorang
kaum terpelajar, Mirna merasa miris melihat prosesi itu, namun di sisi lain ia
juga bangga melihat masyarakat di kampung Tegalsari masih memangku tradisi
dengan kedua tangan mereka.
Bersambung....