Senin, 19 September 2016

cerbung



Nafasku di Ujung Akar
            Ayam jago mulai bersiul dengan suara emasnya, terdengar melompat dari satu kandang ke kandang yang lain. Awan kembali menarik selimut pekatnya, dan raja siang seakan enggan bangun dari singgasananya. Selang beberapa saat, kilat cahaya menghias langit yang semula hitam pekat menjadi bercahaya di setiap pojok. Langit tengah bermuram durja, meluapkan segala amarah dengan rintik air mata yang jatuh begitu derasnya. Langit yang tengah menangis itu pun kembali mendapat pelukan dari sang angin yang kemudian menggoyangkan beberapa pepohonan. Mereka yang semula tegak berdiri dengan begitu kokoh, kemudian menjadi lihai bergoyang ke kanan dan ke kiri. Tak lama setelah pelukan itu mengahangatkan awan beserta air matanya, suara “Kroakk, brukkk...!”, terdengar begitu kencang, hingga gendang telinga yang sempat menangkap suara itu seakan hampir pecah dan meledak. Beberapa warga yang tengah bertamasya melihat indahnya patung Liberty lantas membuka kaca mata kulitnya dan berhamburan menuju sumber suara.
            Sepanjang perjalanan menuju sumber suara itu, Mirna, gadis remaja anak seorang kepala desa yang baru seminggu tinggal di kampungnya itu merasa heran dan tercengang melihat kondisi di sepanjang jalan. Ia memang gadis asli kampung Tegalsari, Semin, Kabupaten Gunungkidul, namun belum genap satu tahun ia sudah dipisahkan dari kempengan susu ibunya. Sang ibu telah meninggal dunia ketika ia berusia tujuh bulan, sejak itu bapaknya memercayakan Mirna di bawah asuhan mertuanya Painem di Karangdowo Klaten. Oleh sebab itu, Mirna terheran-heran ketika melihat kampung yang menjadi tanah kelahirannya itu. Jangankan burung bangau yang berpacaran di pinggiran sawah, semut bergotong royong di pinggir pematang saja tak sekali pun ia temukan di sepanjang perjalanan.
            Setelah berperang melawan jalanan yang licin bak area sky, dari kejauhan ia melihat kerumunan semut berpakaian warna-warni.
“Woww , ada apa ini?”, gumam Mirna lirih.
“Apa anak tidak melihat?, dedemit di kali Kedongan sedang marah itu, karena kita tidak memberi jenang bakal dan sesaji ketika hujan turun tadi pagi”, jelas seorang kakek tua sambil menggerutu.
Mirna mengernyitkan dahinya, apa-apaan ini? Tanyanya dalam hati. Ia semakin bingung tatkala mendekati sebuah rumah yang tertimpa pohon beringin besar itu, yang usianya ia perkirakan sudah mencapai puluhan tahun. Mirna melihat ke sekeliling rumah itu, letaknya hanya satu jengkal dari kali, rumah itu juga dikelilingi gundukan tanah yang menjulang tinggi, banyak batu serupa dinding putih di samping kiri kanannya. Batu itu bak tembok yang dipahat, penuh lubang dan bekas pacal yang di adu dengan palu. Nampaknya itu adalah area pertambangan, tepatnya tambang batu kapur yang di atasnya terdapat bukit dengan berjuta pohon jati yang menghias. Bisa dibayangkan, ketika musim kawin bagi  ulat-ulat jati, dan kemudian berubah menjadi kepompong, hingga menjadi kupu-kupu, betapa indahnya kampung ini. Ya, itu hanyalah bayangan Mirna, karena yang nampak sekarang ini hanyalah bekas pertambangan batu kapur yang pindah sana-sini, dan bukit tandus yang masih mengepulkan asap meski diguyur air hujan semalam suntuk. Pohon-pohon jati yang gagah harus ditebang untuk dijadikan kusen, amben, atau pintu. Lalu, yang kecil di tebang untuk mengepulkan dapur tiap-tiap rumah. Selain itu, pohon lain, seperti akasia, mahoni, atau jowar yang masih imut-imut mereka bakar tanpa sisa untuk membuka lahan pertanian.
            Setelah beberapa saat Mirna berkelana di dunia khayal, akhirnya ia kembali mengedipkan kedua matanya karna nyamuk menghisap darah di bagian hidungnya. Mirna pun tersentak, lalu ia mulai ikut membaur di tengah kerumunan orang yang nampak seperti semut itu. Ia ikut membantu memunguti barang-barang yang masih bisa diamankan dari rumah tersebut. Ada TV, radio, satu set VCD player, bantal, guling, tikat, kasur, amben, jam dinding, pakaian, dan barang pecah belah lainnya yang sudah berganti warna menjadi cemong kemerahan, kotor karna tanah. Ia merasa prihatin dengan kondisi bangunan rumah tersebut yang nyaris rata dengan tanah dan batu kapur bekas pertambangan. Untung saja, kayu beringin yang ambruk itu menimpa rumah ketika hujan sudah reda, jadi proses evakuasi berjalan lancar. Beberapa orang yang mengenakan seragam orange nampak paling kompak, dengan gesit mereka mengangkat batang pohon yang sangat besar dan tentunya berat itu dibantu beberapa warga.
            Setelah proses evakuasi selesai, nampak satu demi satu warga meninggalkan rumah tersebut, dan hanya tersisa tenda biru tempat untuk mengungsi keluarga yang terkena musibah itu. Rencananya, esok Pak kepala desa beserta warga akan ramai-ramai membantunya membangun rumah sementara untuk keluarga korban tinggal, yaitu keluarga Mbah buyut Karto. Ya, mbah Karto adalah sesepuh di kampung Tegalsari. Kini ia hanya hidup berdua, bersama istrinya, anak-anaknya tak tahu entah kemana, setelah anak-anaknya diangkat menjadi DPR kata orang-orang, mereka lantas tak ada kabar. Iya, kabarnya kedua anak mbah Karto menjadi DPR semua, itulah yang sering dilontarkan para tetangganya yang entah hanya gosip murahan seperti yang bergeming di layar kaca TV ataukah memang fakta, mbah Karto tidak terlalu memikirkannya.
            Seminggu setelah pembangunan kembali, akhirnya rumah mbah buyut Karto berhasil didirikan. Tak ada yang istimewa dari rumah itu kecuali prosesi peresmiannya. Ya, di desa itu masih mengenal istilah bancakan yaitu sebuah upacara yang dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat kepada para arwah sesepuh yang sudah ikut memberkati usaha mereka. Sebagai seorang kaum terpelajar, Mirna merasa miris melihat prosesi itu, namun di sisi lain ia juga bangga melihat masyarakat di kampung Tegalsari masih memangku tradisi dengan kedua tangan mereka.

Bersambung....

Jumat, 26 Februari 2016


KAU
Karya : Dian Rahmawati


Bagaimana mungkin aku bisa kembali mengapung di permukaan air
Sebab, senyummu kembali menenggelamkanku lagi
Membawaku dan menghempaskanku ke dalam jurang terdalam
Lalu, kau usap kedua sayap patah yang perlahan mulai usang
Sejenak kau “mencumbu” setiap darah yang mengucur dari robekan sayapku
Kau membawaku terbang, lalu menelantarkan diriku di atas karang dan bebatuan terjal
Bagaimana bisa nafar ini masih tersangkut di kerongkongan
Bahkan untuk sekedar membuka kulit penutup bola mata terasa amat berat
Kini setelah berabad-abad kumengatupkan mata, aku mulai sadar bahwa kau hanyalah senja di penghujung hari