Kamis, 04 Juni 2015

SINOPSIS NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOOR

SINOPSIS NOVEL GADIS PANTAI
 KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOOR


  Gadis pantai adalah seorang gadis biasa yang tinggal di daerah kampung nelayan Karesidenan Jepara Rembang. Gadis ini adalah seorang "kembang" di desanya. Ia berumur empat belas tahun pada waktu itu, dengan tubuh kecil mungil dan warna kulit yang kuning langsat. Keceriaannya hilang, hari-harinya yang telah terbiasa bebas bergumul dengan laut dan ombak, tiba-tiba harus segera ditinggalkan. Seorang Bendoro (priyayi), datang mengambilnya untuk diperistri. Gadis Pantai hanya dijadikan istri yang tidak resmi oleh Bendoro, pernikahan ini hanyalah latihan sebelum Bendoro menikah yang sebenarnya dengan perempuan yang sederajat dengannya.
   Gadis pantai berontak, tapi orangtuanya bersikeras untuk menerima perkawinan itu. Karena hal itu dianggapnya akan mendatangkan kehormatan baginya, Gadis pantai pun mengikuti apa keinginan orangtuanya. Gadis pantai dibawa ke rumah Bendoro dengan diantar emak, bapak, beberapa saudara, paman, dan kepala kampungnya. Rumah itu memang megah, sangat megah untuk ukuran pribumi. Ia hanya bertugas untuk mengabdi kepada Bendoro, tidak untuk bekerja, ia hanya menunjuk dan memerintah kepada bujangnya (pembantunya). Dan sebagai wanita utama, ia dipanggil oleh bujangnya dengan sebutan “Mas Nganten”. Ia tidak diperbolehkan bertemu dengan kedua orang tuanya sampai pada batas waktu yang ditentukan oleh Bendoro. Gadis Pantai selalu merasa kesepian, namun untungnya selalu ada bujang wanita yang menemaninya, mendongenginya dan siap melayaninya. Awalnya ia kikuk dengan suasana rumah itu, karena semuanya sangat berbeda dengan keadaan di kampung halamannya. Tapi hal itu tak berlangsung lama, bujangnya telah membimbingnya untuk menjadi wanita utama yang baik. Malam itu, Bendoro datang ke kamarnya. Gadis pantai dengan gugup menyambutnya, ia lakukan apa saja yang telah diajarkan oleh bujang itu. Dan Gadis pantai begitu tertegun, karena Bendoro tidak seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya. Ia sangat lembut, sopan, dan tahu akan agama serta hadist pula. Sedang Gadis pantai? Agama baginya adalah hal yang sangat suci, saking sucinya, sampai ia tak berani mempelajarinya. Suasana hening, dan malam itu adalah malam pertama ia tidur bersama Bendoro. Hari-harinya kini digunakan untuk mengatur rumah, belajar mengaji bersama Bendoro, dan belajar membatik. Namun wanita tua itu selalu setia menemaninya, sampai Gadis pantai hendak tidur pun ia harus “mendongeng” hingga Gadis pantai terlelap. Terkadang wanita tua itu kehabisan cerita, dan kemudian ia mengganti dengan pengalaman hidupnya.
   Sudah setahun Gadis Pantai meninggalkan kampungnya, suaminya juga sudah mulai jarang di rumah apalagi mengunjunginya. Rasa rindu yang sangat menggebu dan cemburu seakan menyiksa batin si Gadis Pantai. Namun, ia sadar bahwa ia hanyalah budak dari Bendoronya, ia tak punya kuasa apa-apa untuk menanyakan kemanakah Bendoro pergi selama ini. Yang harus ia lakukan hanyalah melayani Bendoro sebagai suami dan majikannya sendiri. Untuk mengisi kegelisahannya itu, Gadis Pantai selalu bertanya kepada bujangnya yang lambat laun menjadi tua itu. Banyak hal ia tanyakan pada bujangnya, hingga ia mulai mengerti bagaimana takdir hidup orang kebanyakan dan priyayi, kewajiban dan hak antara suami dan istri. Banyak ilmu telah ia dapat dari bujang baik hati itu hingga ia tumbuh menjadi wanita utama yang baik hati serta berpengetahuan luas.
  Memasuki usia perkawinan yang kedua, Gadis Pantai kini mulai dipanggil oleh Bendoro untuk ke ruang tengah guna menggobati penyakitnya dengan menggunakan bantuan lintah. Lintah yang dipeliharanya di dalam stoples itu kemudian dikeluarkan dan ditempelkan ditelapak kaki bendoro. Lintah yang semula kurus kering, setelah beberapa saat ditempelkan di kaki Bendoro tiba-tiba menjadi gemuk dan nantinya akan terlepas dengan sendirinya. Tugas Gadis Pantai adalah menunggui lintah tersebut agar jangan sampai jatuh ke tanah dan mati sia-sia.
  Pada suatu hari Gadis Pantai memerintahkan sanak saudaranya untuk membantunya membersihkan kamar, menjemur segala yang ada. Setelah semua sudah selesai, ia pun kembali ke kamar untuk menebarkan kapur agar wangi, kemudian diketahuinya bahwa dompetnya sudah tidak ada lagi di laci meja hias. Hal semacam ini baru pertama kali terjadi, ia bingung harus bagaimana, jika uang itu tak segera ditemukan maka esok semua orang tidak bisa makan termasuk Bendoro, sebab tak ada uang belanja.
  Kemudian dengan wajah yang resah, ia menghampiri bujangnya dan menceritakan apa yang sedang terjadi. Sang bujang menembaknya dengan beberapa pertanyaan, mulai dari siapa saja yang masuk sampai pada siapa yang ia curigai. Akhirnya dengan ragu-ragu Gadis Pantai mengatakan bahwa sedari tadi hanya agus-agus yang keluar masuk kamar. Namun ia tak begitu percaya, apakah seorang bangsawan muda berani melakukan tindakan sekeji itu, lantas apa gunanya mereka bersekolah, mengaji dan diajari berbagai macam ilmu? Pikir si Gadis Pantai.
  Akhirnya si bujang pun memangil para agus, sekejab mereka berkumpul di balik pintu. Si bujang mengarahkan Gadis Pantai untuk menanyai mereka baik-baik. Namun apa daya ia tak memiliki banyak keberanian untuk menanyai mereka, kemudian si bujang membuka percakapan. Ia mencoba menanyai para bangsawan muda ini dengan hati yang tenang, namun dengan nada kasar mereka membantah pertanyaan si bujang dan Gadis Pantai. Mereka malah menghina-hina Gadis Pantai, adu mulut dan saling mengancam pun tak dapat dihindari.
  Bujang pun akhirnya melaporkan kejadian ini pada Bendoro. Kemudian Bendoro memanggil istri beserta bujangnya ke ruang tengah, tak lupa ia juga memanggil semua agus. Bendoro bertanya adakah yang mengambil uang Mas Nganten, tapi tak ada satupun yang menjawab. Lalu Bendoro menjelaskan panjang lebar kemudian bertanya tentang kehormatan pada salah seorang agus yang bernama Abdullah, namun agus itu tak menjawab, lalu Bendoro bertanya pengertian maling, ia pun mengaku mengetahui artinya, lalu Bendoro bertanya apakah guru ngajinya bernama Haji Masduhak, dan Abdullah membenarkan. Setelah itu, Bendoro bertanya lagi, apa yang bisa dilakukan seseorang untuk meyakinkan akan suatu hal, kamudian Abdullah menjawab dengan sebuah sumpah. Bendoro pun menantangnya apakah ia siap disumpah, Abdullah pun menyetujui.
  Kemudian Bendoro memanggil agus kedua yaitu Karim, ia ditanyai apakah guru ngaji mereka sama, kemudian Karim membenarkan, lalu Bendoro bertanya pada Karim apa pengertian kemunafikan, namun Karim tidak bisa menjawab. Kemudian agus ketiga dipanggil Bendoro, namanya Said, pertanyaan yang sama Bendoro lontarkan kepada Said yaitu apa pengertian kemunafikan. Said menjawab “Kelihatan suci dan setia, tetapi sebenarnya tidak.
  Akhirnya Bendoro memerintahkan Abdullah dan Said untuk keluar dari ruangan itu. Tinggal Karim, si Gadis Pantai dan bujangnya. Kemudian Bendoro memberi nasehat pada Karim, bentakan dan nada-nada tinggi ditujukan pada agus muda itu. Dan Karimlah orang yang mengambil dompet Mas Nganten. Kemudian Karim diusir Bendoro untuk keluar ruangan. Setelah Karim, tiba saatnya si bujang tua yang dilempari beberapa pertanyaan dari Bendoro. Bendoro menghargai usahanya dalam melawan kejahatan, ia tidak bisa melawan kejahatan dengan tangannya, juga tak mampu melawan dengan lisannya namun, setidaknya si bujang sudah berusaha melawan kejahatan dengan menggunakan hatinya. Disisi lain, si bujang memiliki kekurangan di mata Bendoro, yaitu terus berusaha bersetia pada Bendoro dan berani menggugat agus-agus Bendoro muda. Akhirnya si bujang tua itu diusir dari kediaman Bendoro, ia sudah tidak diperbolehkan mengabdi di sana. Dengan langkah yang gontai, si bujang meninggalkan Gadis Pantai dan ia beranjak keluar dari ruangan. Gadis Pantai itu pun memohon kepada Bendoro supaya mau memaafkan si bujang. Namun, Bendoro tidak mau, ia membentak dan menyuruh si Gadis Pantai untuk kembali ke dalam kamarnya.
  Gadis Pantai menarik si bujang ke dalam kamarnya dan ia menangis di pelukkan si bujang tua itu. Namun, dengan nada yang tenang tanpa penyesalan ia menceritakan panjang lebar kepada Gadis Pantai itu, ia berpesan pada si gadis untuk tetap mengingat segala wejangan yang pernah ia ceritakan padanya. Si bujang tua itu akhirnya pergi meninggalkan Gadis Pantai itu sendiri di dalam kamar.
  Pada suatu pagi saat hujan lebat turun, empat orang wanita memasuki dapur dalam keadaan yang basah kuyup. Salah satu diantara mereka diantarkan Mardi untuk menemui Gadis Pantai, Mardi memperkenalkan wanita yang bernama Mardinah itu kepada Bendoro Putrinya yaitu si Gadis Pantai. Mardinah adalah bujang baru untuk Gadis Pantai, ia menggantikan bujang tua yang beberapa waktu lalu diusir oleh Bendoro. Mardinah bukan gadis desa, ia dilahirkan di kota yaitu di Semarang, umurnya baru empat belas tahun, ia sudah janda. Mardinah pernah bekerja di Kabupaten Demak, lalu ia diperintahkan oleh Bendoro Puteri Demak untuk bekerja pada Gadis Pantai. Mulai saat itu juga si Gadis Pantai sudah merasa tidak suka dengan Mardinah, kedatangannya dirasa sangat aneh dan janggal.
  Tingkah laku dan ucapan Mardinah dirasa kurang sopan menurut Gadis Pantai, ia terlalu lancang dan berani padanya. Sering ketika Mardinah masuk ke dalam kamarnya langsung duduk di kursi atau duduk bersamanya di ranjang. Bahkan pernah sekali ia jumpai Mardinah sedang enak-enakkan tidur di atas ranjangnya. Jelas saja ada yang tidak beres dengan Mardinah, seorang bujang berani lancang kepada Bendoro Puterinya.
  Ketika Gadis Pantai sudah tidak tahan dengan sikap kurang ajar Mardinah, ia pun menegurnya. Diluar dugaan Mardinah menjawab bahwa Gadis Pantai bukanlah majikannya, mana mungkin seorang gadis kota memiliki majikan yang hanya seorang gadis pantai, gadis kampungan. Seketika jantung Gadis Pantai terguncang, apalagi setelah mendengar pernyataan bahwa Mardinah  adalah gadis kota, bisa membaca dan menulis, ayahnya seorang pensiunan juru tulis, hati Gadis Pantai semakin ciut dibuatnya.
  Semenjak ada Mardinah, hati Gadis Pantai selalu risau, gelisah, takut dan ia pun tak mengerti harus berbuat apa. Ketika sedang bingung tak ada lagi tempat untuk bertanya. Ketika sedang gelisah dan kesepian tak ada lagi tempat untuk menghibur diri, ia benar-benar kehilangan semangat hidupnya, ia sangat merindukan bujang tuanya.
  Suatu hari setelah ditinggal beberapa minggu oleh Bendoro, akhirnya ia bisa tidur dalam satu ranjang dengan suaminya itu. Tiba-tiba Gadis Pantai mulai meneteskan air mata, dengan lembut Bendoro mengusap air mata itu, dan bertanya pada isterinya. Ingin rasanya ia mengadukan pada suaminya apa yang telah diperbuat oleh Mardinah kepadanya, namun setelah ia tahu bahwa Mardinah adalah kerabat jauh Bendoro, ia mengurungkan niat untuk mengadukannya itu. Kemudian ia hanya mengatakan bahwa ia merindukan kedua orang tuanya. Lalu dengan bijak, Bendoro memperbolehkannya untuk mengunjungi kedua orang tuanya.
  Keesokan harinya Gadis pantai pergi menuju kampung nelayan ditemani Mardinah serta seorang kusir, membawa oleh-oleh dari kota untuk orang tua Gadis pantai. Awalnya Gadis pantai menolak untuk ditemani Mardinah, tapi karena Bendoro mendesaknya, akhirnya Gadis pantai hanya bisa menerima. Kedatangannya disambut oleh seluruh kampung nelayan. Dan Gadis pantai merasa, bahwa semua perlakuan penduduk di kampungnya telah berubah, mereka begitu menghormati Gadis pantai, lantaran ia seorang istri pembesar dan memakai banyak perhiasan pula.
   Sehari sudah ia berada di kampung nelayan, dan Mardinah sudah pulang ke kota terlebih dahulu. Seorang wanita tua bernama Mak Pin (Mak Pincang), memijit Gadis Pantai ketika ia merasa letih. Namun dirasainya agak aneh wanita tua itu, dan tak lama, semua orang tahu bahwa Mak Pin adalah seorang lelaki yang dianggap bajak. Seluruh warga mengejarnya, dan setelah tertangkap ia dibuang ke laut. Mardikun nama orang itu, dan diam-diam Gadis pantai curiga bahwa ia ada kaitannya dengan Mardinah yaitu berasal dari Demak dan menggunakan nama “Mardi”.
  Suatu harinya, Mardinah datang lagi ke kampung dengan membawa surat dari Bendoro, namun semua orang tidak bisa membaca terkecuali dirinya, banyak larik yang ditulis Bendoro namun hanya satu larik yang dibaca yaitu Mas Nganten harus segera pulang. Tapi Bapak Gadis pantai telah menangkap kejanggalan itu. Bapak tetap mendesak dan menakut-nakuti Mardinah agar ia menjelaskan semua yang telah terjadi sebenarnya. Benar, ternyata Mardinah ada kaitannya dengan Mardikun. Ia dikirim dari Demak untuk menyingkirkan Gadis pantai dari Bendoro, ia akan membunuh Gadis Pantai ketika perjalanan pulang nanti. Dan akhirnya Mardinah dihukum oleh warga, ia ditempatkan bersama Si Dull pendongen di kampung nelayan (seorang pemuda yang tak waras dan terkenal sangat malas) yang tak beristri. Tapi akhirnya mereka menjadi saling jatuh cinta, dan menikahlah mereka.
  Singkat cerita, Gadis pantai telah kembali ke kota. Tapi dirasainya kini Bendoro sikapnya telah berubah kepadanya. Bendoro sudah tidak pernah berkunjung ke kamarnya. Bahkan Bendoro sudah berkata kasar kepada Gadis pantai. Dan berbulan-bulan lamanya, akhirnya Gadis pantai telah mengandung, ia berharap Bendoro datang menjenguknya. Namun setelah Gadis pantai melahirkan pun Bendoro tak kunjung datang walaupun satu rumah. Setelah tiga hari, Bendoro datang ke kamarnya, tapi Bendoro bergegas pergi, setelah diketahui bahwa bayi yang dilahirkan Gadis pantai bukanlah lelaki.
  Tak lama, bapak Gadis pantai datang menemui Bendoro atas undangannya. Bapak sangat senang, mengetahui dirinya telah mempunyai seorang cucu keturunan seorang priyayi. Namun ternyata hari itu hari yang sangat menyakitkan. Gadis pantai dicerai! Ya, dicerai oleh Bendoro. Tak tahu apa alasan Bendoro, padahal dirasainya tidak ada masalah sedikitpun ia dengan Bendoro.
  Hari itu juga, Gadis pantai meninggalkan gedung batu itu, ia ingin membawa anak itu hidup di kampung nelayan. Bendoro tidak mengizinkan keinginannya, akhirnya Gadis pantai menyerahkan bayi itu pada Bendoro, ayahnya. Tapi tak di sentuh juga oleh Bendoro. Gadis pantai berontak, dan baru kali ini ia berontak terhadap Bendoro. Hingga akhirnya ia di usir dan dipukul oleh Bendoro. Ia menangis, dan ia berdarah-darah.
  Gadis pantai dan bapak pergi untuk selamanya dari rumah Bendoro. Belum sampai di kampung nelayan, ia minta izin dan ampun kepada bapaknya, ia ingin pergi, ia tak bisa membayangkan apa kata orang-orang terhadapnya, kepada ibunya ia hanya bertitip pesan. Dan Gadis pantai pun pergi, ia mencoba mencari wanita tua yang dulu melayaninya. Di Blora, tempat wanita tua itu.
  Dalam satu bulan setelah itu, sering terlihat sebuah dokar berhenti di pelataran rumah Bendoro. Dari tirai dokar, nampak seorang wanita mengintip dengan pandangan mata  ke rumah Bendoro. Namun tak lama, dokar itu tak nampak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar