Sebuah ibu kota kabupaten yang sejak abat ke-19 hadir adalah kota Wanagalih. Kota ini merupakan kota tua, pohon asem yang dulu menjadi penghias jalan raya kini sudah diganti dengan pohon akasia. Di pusat kota itu ada sebuah pasar yang menjual berbagai macam barang tradisional, seperti celana kolor, kutang-kutang perempuan, sabuk otok, ikat pinggang, cemeti dan caping. Selain itu, juga terdapat berbagai macam sayur-sayuran, nangka-nangka muda, ayam, dan bebek. Ada juga jajanan pasar seperti nasi pecel, wedang cemoe, tahu ketupat dan masih banyak lagi jajanan pasar lainnya. Selain barang dagangan yang masih tetap tradisonal, di pasar ini juga sangat terkenal dengan baunya yang khas, sengak, kecut, busuk, dan kecing. Dan di Jalan Setenan di kota Wanagalih inilah awal mula kisah para priyayi itu dimulai.
Kisah ini dimulai dari sebuah keluarga priyayi yang bernama Sastrodarsono. Sastrodarsono yang nama aslinya adalah Soedarsono merupakan anak tunggal dari Atmokasan, dan embahnya bernama Martodikromo, serta pakdenya bernama Kusuma. Bapaknya adalah seorang petani desa Kedungsimo. Keluarganya merupakan keluarga petani, tidak ada diantara mereka yang berhasil menjadi priyayi, namun embahnya selalu berpesan agar anak-anaknya tidak puas hanya menjadi petani saja, ia sangat berharap agar anak-anaknya bisa menjadi priyayi, namun kenyataanya tidak ada satupun anaknya yang berhasil menamatkan sekolah termasuk bapak Sastrodarsono.
Pak Atmokasan merupakan petani biasa saja di desanya, namun ia masih diberi kesempatan untuk menggarap separuh dari sawah Ndoro Seten (seorang priyayi yang cukup terkenal di Kedungsimo), dengan alasan itulah maka hubungan kekeluargaan diantara keduanya semakin erat, bapaknya sangat menaruh harapan kepada Soedarsono, ia selalu menasehati anaknya agar semangat bersekolah supaya kelak menjadi priyayi. Soedarsono adalah satu-satunya anak yang sangat bersemangat sekolah di kampungnya, orang tuanya juga sangat menuntutnya untuk bersekolah dengan sungguh-sungguh, mereka melarang keras Soedarsono untuk membantu di sawah, ia ingin agar anaknya tumbuh menjadi seorang priyayi. Sikap tersebut nampaknya memberikan efek yang begitu signifikan bagi pertumbuhan Soedarsono, ia menganggap bahwa pertanian bukanlah bidangnya.
Pada suatu siang, ia pulang dari Ploso (Selatan Jogorogo), ia membawa kabar gembira untuk kedua orang tuanya, ia berhasil menjadi guru bantu di Ploso berkat bantuan dan dorongan untuk sekolah dari Asisten Wedana Ndoro Seten. Dialah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi calon priyayi, karena jika dia rajin dan setia kepada gupermen, maka dia akan diangkat menjadi guru penuh sekolah desa. Hal ini sangat membahagiakan orang tuanya.
Malam itu, kedua orang tua Soedarsono mengumpulkan keluarganya, pakde-pakdenya, mereka mengadakan syukuran atas keberhasilan yang sudah diraih Soedarsono, seperti adat Jawa pada umumnya, orang yang sudah dianggap dewasa, maka namanya perlu diganti dengan nama tua. Begitu juga Soedarsono, malam itu ia mendapat nama tuanya karna sudah dianggap dewasa dan berhasil mendapat blesit menjadi guru bantu di sekolah desa Ploso, namanya pun diganti menjadi Sastrodarsono. Selain mendapat nama tua, malam itu pun menjadi malam bersejarah baginya, ia akan segera dijodohkan dengan seorang gadis pilihan orang tuanya yang tidak lain adalah anak dari saudara jauh keluarganya yaitu Siti Aisah (Ngaisah), putri dari paman Mukaram di Jogorogo mantri penjual candu, yang juga merupakan keluarga priyayi. Soedarsono pun merasa keputusan itu terlalu cepat, ia masih merasa belum mampu membangun rumah tangga dan menghidupi anak istrinya kelak, namun seluruh anggota keluarganya memberi dukungan kepadanya, akhirnya ia pun tak bisa menolak permintaan bapaknya itu. Minggu depan mereka akan beramai-ramai ke Jogorogo untuk saling memperkenalkan anak masing-masing. Pak Atmokasan menyuruh Soedarsono sowan kepada Ndoro Seten, Pak Lurah, dan Pak Carik untuk melaporkan perkembangan tentang beslitnya yaitu sudah menjadi guru bantu.
Soedarsono yang kini berganti menjadi Sastrodarsono itu pun menuruti nasehat bapaknya, ia sowan kesana-kemari untuk melaporkan perkembangan karirnya, ia juga mendapat banyak petuah, terlebih dari Ndoro Seten yaitu untuk menyesuaikan diri dengan dunia barunya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, iring-iringan dokar dengan suara gemerincingnya menambah riuh suasana perjalanan, semua keluarga Sastrodarsono tampil dengan maksimal, kaum laki-laki mengenakan kain, jas, dan destar, kemudian para ibu mengenakan kebaya. Sastrodarsono pun tak mau kalah, ia sudah tentu mengenakan kain, jas putih dan destar. Rombongan itu pun sesekali berhenti untuk beristirahat.
Setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan, baik karena cuaca yang panas maupun jarak tempuh yang begitu jauh, medan yang dilalui pun cukup lumayan, menerobos hutan dan juga kali, akhirnya mereka hampir sampai di Jogorogo, sebelum sampai di rumah calon besan, mereka pun berhenti untuk sekedar membetulkan pakaian dan dandanan mereka. Pikiran Sastrodarsono pun semakin bercampur aduk, ia tak tahu harus bagaimana, ia juga penasaran membayangkan wajah calon istrinya, apakah ia cantik atau setidaknya hitam manislah untuk bisa mendampinginya menjadi istri priyayi.
Begitu rombongan sampai, Sastrodarsono pun terbelalak melihat rumah Paman Mukaram yang ternyata besar juga, dari papan, berbentuk limasan dengan sebuah ruang depan yang agak luas. Pertemuan itu diisi dengan berbagai macam basa-basi saling memperkenalkan anak masing-masing dengan merendahkan hati. Akhirnya hari perkawinan pun ditetapkan yaitu beberapa minggu menjelang keberangkatan Sastrodarsono pindah ke Ploso.
Perkawinan mereka diadakan dengan sangat meriah, Ndoro Seten menyumbang banyak untuk perkawinan Sastro, ia juga menyumbang tontonan wayang dengan memilih lakon Sumantri Ngeger atau Penghambaan Sumantri. Ceritanya tentang pengajaran untuk wong cilik agar ia senantiasa rendah hati, tahu diri, dan tahu diuntung. Sumantri adalah contoh wong cilik yang dengan ikhlas menyerahkan baktinya untuk raja dan negara, meskipun sebelumnya ia pernah sombong dan tega membunuh adiknya serta memamerkan kesaktiannya kepada rajanya. Selain itu, cerita ini juga mengajari Priyagung untuk sabar dan bijaksana, tetapi juga harus tahu kapan menundukkan musuhnya. Pesta perayaan itu akhirnya selesai juga dengan meninggalkan rasa lelah dan penat, Darsono pun akhirnya memasuki kamarnya, ditemuinya dik Ngaisah tidur dengan bibir tersenyum di atas ranjang bertabur kuncup melati, ia pun ikut tidur dengan memeluk mesra istrinya itu.
Darsono beserta istri akhirnya kembali ke Ploso, ke rumah sederhana dekat sekolah tempat Darsono mengabdi. Hari-hari mereka isi dengan kebahgaiaan, Aisah yang memang anak priyayi mampu mengambil peran sebagai seorang istri priyayi, sebentar saja menjadi seorang istri ia sudah mahir menjalankan perannya sebagai seorang istri yang mengatur rumah tangganya.
Keluarga Darsono hanya tinggal di Ploso selama satu tahun, ia naik pangkat menjadi guru di desa Karangdompol di Kabupaten Wanagalih, hal itu terjadi berkat usulan Ndoro Seten ke atasan di Madiun. Waktu perjalan pulang dari Ploso, Darsono singgah ke Kedungsimo untuk melaporkan perkembangannya kepada Ndoronya itu. Kemudian Ndoro Seten menjelaskan bahwa kenaikan pangkat itu memang pantas Darsono terima, ia kemudian menyuruh Darsono untuk tidak memanggilnya Ndoro, ia dan istrinya sudah menganggap Atmokasan beserta istri sebagai kakak dan menganggap Darsono dan juga Aisah sebagai anaknya juga, untuk itu Ndoro Seten ingin Darsono memanggil dia dan istrinya dengan sebutan romo dan ibu.
Kemudian, Darsono dan istrinya Ngaisah pergi ke Wanagalih, pada waktu itu dek Ngaisah sedang hamil tua anak pertamanya. Mereka memulai kehidupannya di Wanagalih dengan penuh kesederhanaan, Darsono tidak hanya mengandalkan gajinya, disamping menjadi seorang guru yang digaji gupermen, ia juga menggarap tegalan yang berada di belakang rumahnya, ia tidak secara langsung terjun menggarap tegalannya, namun ia hanya mengawasi para buruhnya agar semua berjalan lancar. Akhirnya keluarga ini memiliki tiga orang anak, anak pertama bernama Noegroho, anak yang kedua bernama Hardjojo, dan anak ketiganya bernama Soemini. Noegroho lahir dua bulan setelah mereka berada di Wanagalih, sedangkan ketiganya lahir hanya dengan jarak dua tahun.
Noegroho sebagai anak laki-laki pertama diharapkan mampu menjadi penerus dan ujung tombak dari keluarga Sastrodarsono. Kelak dialah yang akan menggantikan bapaknya menjadi seorang priyayi, menjadi pemimpin bagi adik-adiknya. Ketiga anak Sastrodarsono mulai tumbuh dan berkembang, semakin besar mulai tak nampak lagi garis-garis petani dalam penampilan mereka, bibir mereka tidak terlalu tebal, tulang pipi mereka tidak terlalu menonjol, kulit mereka kuning langsat, dan hidungnya mancung.
Ketiga anak Darsono disekolahkan di sekolah HIS Wanagalih, sekolah dasar untuk anak priyayi. Ketiganya tumbuh menjadi anak priyayi yang cerdas, Noegroho pandai dalam sejarah dan ilmu bumi, Hardjojo pandai berbahasa Belanda dan mengarang, serta berhitung, dan Soemini pun juga tak kalah pandai dengan kedua kakaknya, ia juga fasih dalam berbahasa Belanda. Setalah tamat di HIS, kedua anak laki-laki Sastrodarsono melanjutkan di Kweekschool, sekolah guru di Yogya.
Pada suatu hari, penilik sekolah, School Opziener datang menemui Darsono, ia mengatakan bahwa kepala sekolah SD yang ditempatinya itu sudah lama diamati, Martoatmodjo itulah nama kepala sekolah itu. Martoatmojo memiliki catatan kerja yang baik selama ini, namun akhir-akhir ini ia dianggap mengalami penurunan kinerja, ia digosipkan memiliki hubungan gelap dengan seorang penari tayub Karangjambu. Akhirnya setelah ia selidiki, yang menyebabkan Martoatmodjo akan diberhentikan sebagai kepala sekolah adalah karena ia dianggap sebagai kaum pergerakan. Namun, Martoatmodjo tetap teguh pada pendiriannya, ia tetap ingin mencerdaskan kaum menengah ke bawah. Akhirnya ia pun diberhentikan menjadi kepala sekolah dan posisinya digantikan oleh Sastrodarsono. Martoatmodjo pun di pindah ke sekolah desa Gesing.
Meskipun, anak yang masih di rumah hanya Soemini saja, namun keluarga Sastrodarsono tidak pernah merasa kesepian, karena mereka mau menampung dan menyekolahkan kemenakan-kemenakannya di HIS. Kemenakan-kemenakannya itu bernama Ngadiman, Soenandar, Sri, dan Darmin. Ngadiman yang pada akhirnya menjadi menjadi priyayi walaupun hanya priyayi kecil yaitu bekerja sebagai juru tulis di kabupaten. Dan ada pula Sri dan Darmin yang tidak menyelesaikan sekolahnya karena harus membantu orang tua mereka untuk mengurus masjid wakaf keluarganya. Sementara Soenandar merupakan satu-satunya kemenakan yang paling bandel dan nakal. Ia sering membuat onar ketika di sekolah, sering mengganggu anak perempuan, mengajak berantem anak laki-laki, bahkan ia juga sering mencuri uang saku temannya, selain itu ia juga sering sekali makan di kantin tetapi tidak mau membayar. Semua tindakannya itu sangat membuat malu keluarga Sastrodarsono, kemudian Sastrodarsono memutuskan untuk mengeluarkan Soenandar dari sekolah. Akhirnya, Darsono memanggil ibunya Soenandar, ia menjelaskan semua duduk perkaranya, dan melihat keadaan ibunya Soenandar, ia merasa iba, kemudian ia berjanji akan tetap menampung Soenandar dan memberinya pekerjaan yang sesuai.
Pada suatu hari, datanglah surat lamaran kepada Soemini, pada saat itu ia sudah duduk di kelas tujuh. Surat lamaran itu datang dari Harjono Cokrokoesoemo, seorang asisten wedana Karangelo, putra dari paman Soemodiwongso di Soemoroto, saudara jauh dari pihak Dik Ngaisah. Kemudian Darsono pun mengumpulkan semua anaknya untuk dimintai pendapat. Keputusan akhir dari musyawarah itu adalah Soemini mempunyai keinginan untuk sekolah lagi di Van Devente, di Solo. Ketika tamat di sekolah Van Deventer itu, barulah Soemini bersedia menikah dengan Harjono.
Ketika Soemini sudah tamat HIS, ia pun diantar ke Solo untuk melanjutkan sekolahnya, di sana ia dikenalkan dengan Mbakyu Soeminah, mbakyu jauh dari keluarga Darsono. Pada suatu sore, Sastrodarsono duduk memandangi pohon nangka sambil menikmati panganan pasar kesukaannya sejak dulu. Begitu melihat pohon nagka itu, ia jadi teringat dengan banyak orang dan berbagai macam peristiwa yang sudah dilaluinya.
Pada suatu malam, ketika makan malam sudah hampir selesai, tiba-tiba Darsono dikejutkan dengan suara triakan dan ribut di belakang, sewaktu dilihat ternyata ada Paerah pembantunya, para pembantu yang lain, Ngadiman, dan Soenandar. Ia triak-triak seperti orang kesetanan. Setelah diobati oleh Sastrodarsono, ia pun menjelaskan bahwa penyebab ia teriak adalah ketika ia sedang berganti pakaian, tiba-tiba Soenandar masuk ke kamarnya dan memegang bahunya, seketika Paerah kaget dan menjerit ketakutan.
Soemini dan Noegroho anak Dorsono sudah menikah, suami Soemini bernama Harjono, sedangkan istri Noegroho bernama Susanti. Lalu, Hardjojo tiba-tiba mengirimi surat kedua orang tuanya untuk meminta izin menikah dengan seorang gadis bernama Nunuk, ia sangat cantik dan pandai. Hardjojo sudah sangat akrab dengan kedua orang tuanya, hanya saja yang menjadi sekat pembatas diantara keduanya adalah perbedaan keyakinan, Nunuk beragama Khatolik. Sastrodarsono yang keluarganya beragama Islam tentu tidak bisa jika harus menikahkan anaknya dengan seorang wanita non muslim, kecuali sang gadis mau untuk masuk Islam. Akhirnya permintaan restu itu pun gagal, Hardjojo gagal kawin dengan dik Nunuk.
Selain menghadapi persoalan anaknya yang ingin sekali menikah dengan perempuan Khatolik, ia juga dipusingkan dengan persoalan Soenandar yang menghamili Ngadiyem anak mbok Soemo yang tempo hari ia tumpangi pada waktu mendirikan sekolah kecil-kecilan di Wanalawas. Soenandar menghamili Ngadiyem kemudian minggat dari rumah dengan membawa tabungan mereka. Darsono pun dibuat malu oleh sikap Soenandar yang bejat itu. Akhirnya ia meminta bantuan polisi untuk mencari Soenandar, selang beberapa hari akhirnya polisi berhasil menemukan Soenandar, ia ikut dalam komplotan rampok Samin Genjik, dan tragisnya mereka semua mati di bakar dalam sebuah rumah pada saat melarikan diri. Akhirnya Ngadiyem berjuang sendiri untuk membesarkan anaknya, namun Darsono berjanji akan membiayai segala biaya persalinannya. Akhirnya, tibalah waktu dimana Ngadiyem melahirkan, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Wage, karena ia lahir pada hari Sabtu Wage. Ia dibesarkan oleh ibunya, ibu Ngadiyem dan juga mboknya, mbok Soemo. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan baik, ia selalu membantu ibunya bekerja termasuk menjual tempe. Hingga pada akhirnya ia diasuh oleh keluarga Darsono dan namanya diganti menjadi Lantip. Lantip kecil pun tumbuh menjadi Lantip yang cerdas dan berakhlak baik.
Sementara itu, kegagalan Hardjojo untuk berumah tangga dengan Nunuk nampaknya menyisakan bekas luka yang mendalam baginya, namun mau tidak mau ia harus mengubur dalam-dalam nama Nunuk, ia harus menyimpannya di dalam kotak dan menguncinya rapat-rapat serta meletakkannya ke sudut tergelap dalam hatinya agar nama Nunuk tidak tersorot cahaya kembali.
Suatu ketika, takdir Tuhan benar-benar terjadi, jodoh Hardjojo pun segera dipertemukan dengannya, Sumarti yang merupakan muridnya sendiri akhirnya yang menjadi istrinya. Hubungan itu hanya berawal ketika Sumarti mengalami cidera pada waktu berolah raga, kemudian dilanjutkan hingga ke jenjang pernikahan.
Pada saat Jepang mulai masuk ke Indonesia, Lantip dikagetkan dengan sebuah triakan dari Pak Dukuh, ia membawa kabar bahwa emaknya Ngadiyem meninggal dunia akibat keracunan jamur, ia pun merasa sedih dan terpukul mendengar kabar itu. Pada malam hari setelah emaknya dikubur, ia mulai membuka perbincangan dengan Pak Dukuh untuk menanyakan perihal siapakah bapaknya. Kemudian Pak Dukuh menceritakannya sesuai dengan kenyataan.
Sesudah selamatan hari ketiga, Lantip dijemput kang Trimo untuk kembali ke Wanagalih. Selang beberapa hari, Jepang sudah mulai berkuasa, peraturannya semakin ketat dan keras, semua masyarakat harus bisa bahasa Jepang, sebelum proses pembelajaran dimulai semua guru dan siswa diwajibkan untuk ikut menyembah Tuhan mereka, yaitu matahari. Namun, karena merasa sudah pensiun dan tua, Darsnono tidak mengikuti perintah itu, punggungnya sudah tidak bisa lagi digerakkan menunduk.
Kabar bahwa Darsono tak mau menunduk itu pun akhirnya sampai ke telinga Tuan Sato, ia mendatangi rumah Darsono dan memaki-makinya, alhasil Darsono pun mendapatkan hadiah tempeleng dari si tuan Nippong. Kejadian itu membuatnya murung beberapa hari, sampai akhirnya anak dan cucu hadir ke rumah untuk menghibur Darsono. Hardjojo melihat Lantip dan Gus Hari makin lama makin akrab, apalagi ketika mereka berkunjung ke Wanagalih, akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat Lantip sebagai anak asuh.
Setelah pulang dari menghibur bapaknya, Noegroho kembali menjalani aktivitasnya menjadi seorang guru, padu suatu hari tiba-tiba datang surat panggilan untuk menjadi tentara Peta “Pembela Tanah Air”. Akhirnya ia pun menyanggupi panggilan itu dan harus berlatih di Bogor.
Sesudah ia selesai menjalani latihan di Bogor, ia akhirnya pulang dan mengajak anak, istri, serta adik-adiknya untuk berkumpul di Wanagalih menjenguk orang tuanya. Mereka ingin sekali mendengar cerita dari Noegroho bagaimana proses pelatihan menjadi tentara Peta. Pada waktu itu, Indonesia bisa dikatakan sedang genting keadaan dan situasinya, muncullah pergerakan PKI yang bertindak dengan tak berperikemanusiaan.
Saat itu pada tahun 1948 Noegroho kehilangan anak pertamanya yang bernama Suhartono atau Toni, ia meninggal ketika ikut bergabung kawan-kawannya TP ke front selatan. Noegroho dan Susanti hanya bisa mengikhlaskan kepergian anaknya itu.
Belum habis luka dan duka yang dialami keluarga Noegroho, kemudian datang lagi cobaan, Soemini anak perempuannya tiba-tiba datang ke Wanagalih dengan membawa koper, ia datang sendiri tanpa anak dan suaminya. Ternyata ia sedang memiliki masalah, Suaminya Harjono terbukti selingkuh dengan seorang wanita rekan kerjanya yang bernama Sri Asih pegawai Kementerian Dalam Negeri dan penyanyi keroncong Serikat Sekerja Kementerian. Alasan Harjono selingkuh adalah karean ia sudah bosan dengan Soemini, ia ingin memiliki teman akrab wanita. Soemini yang merupakan wanita modern yang aktif berorganisasi sering tidak ada di rumah untuk mengurusi suaminya, meskipun ia sudah membereskan rrumah sebelum pergi dan menyiapkan segala sesuatunya, namun Harjono masih merasa pelayanan dan peran seorang istri dari Soemini itu masih kurang.
Akhirnya Ngaisah dan Darsono memberinya nasehat dengan sabar dan penuh perhatian, masalah ini pun selesai dan Harjono meninggalkan selirnya itu.
Masalah Soemini selesai, sekarang giliran masalah keluarga Noegroho. Pada suatu hari, tiba-tiba Susanti berkirim surat kepada Darsono dan Ngaisah untuk meminta izin berkunjung, mereka pun membalas surat Susanti dan menunggu kedatangannya. Suatu hari, Susanti pun daatang ke rumah dengan wajah yang muram, sudaah tentu ia juga membawa masalah, masalah yang sedang dihadapinya saat ini bukanlah masalah yang sepele, Marie anak keduanya hamil di luar nikah. Suatu aib bagi keluarga besar Sastrodarsono, trauma yang dialami Susanti karna sudah kehilangan anak pertamanya yang bernama Toni membuatnya jadi memanjakan anak kedua dan ketiganya yaitu Marie dan Tommy. Toni anak kesayangannya meninggal pada waktu ikut bergabung TP front Selatan. Karena sering dimanjakan, Marie tumbuh menjadi wanita yang urakan, dia tidak mau mengikuti nasehat orang tuanya, hidup boros, sering kluyuran, berganti-ganti pacar, bahkan tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Akhirnya, pola gaya hidup yang tidak baik itu membawanya bertemu seorang Maridjan asli Wonosari, dekat pantai Baron. Ia dihamili oleh Maridjan yang ternyata sudah memiliki seorang istri dan anak. Susanti dan keluarga Sastrodarsono merasa sedih akan kejadian itu, akhirnya Darsono meminta Lantip untuk pergi ke Jakarta mengantar Susanti pulang dan mengurus masalah itu, karena memang pada saat itu, Noegroho sedang dinas ke Eropa. Ketika sudah sampai di Jakarta, Lantip segera disambut oleh anak Susanti dengan dingin dan sinis, namun ia tetap sabar. Segera Lantip mencari Maridjan dan meminta dengan baik agar ia mau bertanggung jawab atas kehamilan Marie, Maridjan pun menyetujui. Ketika Noegroho pulang dari Eropa, ia kaget mendengar berita itu, ia tak menyangka kenapa ia sampai tak bisa mendidik anak, sehinggga anak gadisnya terjerumus ke dalam pergaulan bebas hingga hamil. Namun, semua masalah dianggap selesai, karena Maridjan sudah bersedia untuk menikah dengan Marie.
Ketika Lantip masih berada di Jakarta bersama keluarga Noegroho, ia mendapat kabar bahwa eyang putri (Ngaisah, istri Sastrodarsono) meninggal dunia, mereka pun langsung bergegas menuju Wanagalih. Ngaisah meninggah karena penyakit lever, ia tampak lebih muda dan meninggal dengan sebuah senyum dibibir manisnya. Sastrodarsono merasa sangat sedih, ia harus kehilangan seorang wanita yang sangat dicintainya, seorang wanita yang sudah menemaninya selama kurang lebih lima puluhan tahun, seorang wanita yang selalu menjadi sayap untuknya yaitu dik Ngaisah istri tercintanya. Ngaisah meninggal pada saat berusia kurang lebih tujuh puluh tahun.
Setelah seminggu di Wanagalih, anak-anak Darsono pun berpamitan, mereka harus segera pulang dan kembali menjalankan tugasnya. Namun, Gus Hari (Harimurti) meminta izin untuk tetap tinggal dan menemani eyangnya. Harimurti memang seorang anak yang memiliki rasa solidaritas yang tinggi, terlebih pada keluarganya. Darsono pun memberi wejangan kepada Marie, agar ia bisa menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu, ia harus setia kepada suaminya dan membuat suaminya agar bisa setia pula dengannya, sehingga mereka bisa membentuk keluarga yang rukun dan bahagia.
Kira-kira dua minggu sebelum pernikahan Marie dan Maridjan digelar, Maridjan malah menghilang tidak ada kabar. Lantip pun menelusuri keberadaannya, ia kaget setelah tahu bahwa Maridjan sudah pergi dari pondokannya, dan tahu bahwa Maridjan sudah memiliki istri dan anak. Dengan susah payah ia mencari alamat rumah Maridjan ia pun berniat untuk melacak keberadaan Maridjan hingga ke rumahnya di Wonosari, dekat Pantai Baron Kabupaten Gunungkidul. Lantip pun pergi ke Wonosari ditemani Gus Hari, setelah lama mencari, mereka pun akhirnya bisa menemukan rumah Maridjan, mereka berembuk dengan keluarga di Wonosari. Hasil dari musyawarah itu adalah mereka akan segera bertanggung jawab. Pada waktu akad nikah, hujan turun begitu begitu derasnya, namun acara tetap berjalan lancar.
Sementara Marie sudah menikah, Gus Hari dan Lantip malah masih melajang. Gus Hari tumbuh sebagai sosok pemuda yang peka, gampang menaruh belas kasih pada penderitaan orang. Ia berkembang menjadi seorang pemuda yang cerdas dan mahir dalam kesenian, ia mahir memainkan gambang atau kendang. Saat ia sudah dewasa, ia memperoleh gelar sarjana ilmu sosial dan politik. Sampai pada akhirnya ia bertemu dengan sosok Sunaryo (mahasiswa angkatan yang beberapa tahun lebih dahulu dari Lantip dan Gus Hari). Dari pertemuan itu, mulai nampak perubahan dari Gus Hari, kesenian bagi Gus Hari merupakan bagian dan alat politik. Hal itu disebabkan oleh pengaruh dari Sunaryo maupun kawan-kawannya baik yang ada di Lekra, CGMI, maupun yang ada di HSI, yang memiliki pandangan Marxis.
Dalam pergaulannya dengan orang seni, ia menemukan sosok wanita yang sangat memikat hatinya, ia nampak tidak seperti wanita Jawa kebanyakan yang halus, luwes, elegan, dan jatmika. Namun, wanita ini memiliki sifat jujur, tegas, dan berpendirian. Namanya adalah Retno Gumilah yang memiliki nama samaran Gadis Pari, nama yang digunakan ketika ia menjadi seorang penyair di Lekra.
Pada tanggal 8 Mei 1964, Gadis ingin merayakan kekalahan Manikebu (penulis-penulis lawan Lekra), hubungan mereka menjadi lebih dekat dan mereka pun sampai akhirnya melakukan hal-hal yang sangat dilarang agama. Pada suatu hari, Gadis mengajaknya untuk ikut ke rumahnya di Wates, ia mengenalkan Gus Hari dengan kedua orang tuanya. Pada waktu Lantip dan Halimah tunangan, Gus Hari pun mengajak Gadis untuk ikut menghadiri acara itu, Hari akhirnya juga mengenalkan Gadis kepada keluarga besarnya. Gadis sebenarnya anti dengan para priyayi yang dianggapnya jelek, memiliki jarak sosial dengan kaum rendahan seperti dirinya. Namun, ketika melihat keakraban dan kebaikan keluarga Hari, akhirnya ia pun dapat menerima keluarga itu.
Pada suatu hari, Gus Hari dan Gadis kembali berkunjung ke Wates, kedua orang tua Gadis juga sudah memberi isyarat agar mereka menikah. Ia pun menunjukkan sikap positif kepada orang tua Gadis. Pada suatu hari, Gus Hari bersama dengan kawan-kawannya melakukan pawai meneriakkan dukungannya kepada Dewan Revolusi. Sesudah pawai itu berlangsung, Angkatan Bersenjata telah mengambil alih semuanya dan mengadakan pembersihan terhadap anggota PKI dan semua ormasnya. Gadis dan Gus Hari pun diperintahkan untuk bersembunyi, yang terakhir ia ingat saat berpisah dengan Gadis adalah Gadis tengah mengandung anaknya. Mendengar berita itu, kedua orang tuanya serta Lantip menjadi cemas, ia memerintahkan Gus Hari untuk tetap tinggal di rumah. Lantip pun memiliki ide lain, dari pada Gus Hari tertangkap masa dan dihabisi masa yang mengamuk, lebih baik Gus Hari ia serahkan kepada temannya yang menjadi salah satu anggota dari angkatan itu, lalu usul itu diterima. Gus Hari di antar ke Kotabaru untuk menjalani pemeriksaan bagi oarng yang dianggap sebagai Gestapu. Akhirnya Gus Hari pun di penjara. Sementara Gadis dan kawan-kawannya juga tertangkap waktu bersembunyi di Magelang, ia dianggap sebagai Gerwani dan ditahan di Plantungan.
Akhirnya, kedua orang tua Gus Hari mencari jalan keluar untuk membebaskan anaknya itu. Setelah ia bebas, ia ingin agar keluarganya membebaskan Gadis juga, ketika keluarga Gus Hari hendak memebabskan Gadis, mereka merasa sangat sedih, karena Gadis meninggal ketika melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuannya. Gus Hari sangat terpukul mendengar hal itu. Setelah kejadian itu, Hari mengisi waktunya untuk hal-hal yang positif. Ia mendirikan sebuah perpustakaan dan mengajari tetangganya untuk belajar.
Suatu hari, pohon nangka kesukaan Sastrodarsono akhirnya tumbang, ia memerintahkan keluarganya untuk membagi-bagikan apa yang ada pada pohon itu, baik daun maupun buah dan batangnya. Pohon nangka itu merupakan bukti sejarah hidupnya, dimana semua lika-liku perjalanan hidup ketika di Wanagalih terekam oleh si pohon nangka. Peristiwa tumbangnya pohon nangka itu dilanjutkan meninggalnya Sastrodarsono. Semua keluarga sangat sedih dan terpukul. Ketika pemakaman, diharuskan pihak keluarga menyampaikan pidatonya, Noegroho yang ditunjuk mewakili keluarga agar berpidato menyampaikan pesan dan kesan terhadap bapaknya itu pun menolak, ia ingin agar generasi mudalah yang menyampaikan pidato itu, dan ia menunjuk Harimurti, Harimurti yang merasa tidak pantas menyampaikan pidato akhirnya menolak dengan halus dan mengusulkan agar Lantip yang menyampaikan pidato itu. Ia menganggap bahwa Lantip adalah orang yang pantas berpidato, selama ini dialah oraang yang selalu membantu keluarga besar Sastrodarsono hingga Sastrodarsono meninggal.
bagus ceritanya mudah dipahami...
BalasHapus