Selasa, 16 Juni 2015

Materi Bahasa Indonesia SMA Kelas XII

1. Membedakan antara Fakta dan opini
Laporan merupakan segala sesuatu yang dilaporkan yang berwujud berita atau informasi. Hal yang dilaporkan biasa berupa kegiatan atau pengamatan. Laporan biasa berbentuk laporan lisan ataupun laporan tertulis. 
Laporan harus disusun secara sistematis, singkat, jelas, dan menggunakan bahasa yang komunikaif.
Pada pelajaran ini kamu akan berlatih membedakan informasi berupa fakta dengan opini atau pendapat.
Fakta adalah sesuatu yang benar-benar ada dan benar-benar terjadi, sedangkan opini atau pendapat adalah buah pemikiran (perkiraan) seseorang tentang sesuatu.
2. Menemukan Ide Pokok Artikel Melalui Membaca Intensif
Membaca merupakan kegiatan yang memberikan banyak manfaat. Dengan membaca kamu akan memperleh pengetahuan dan memperluas wawasan. Membaca dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja selama kita berminat untuk membaca. Apa yang telah kamu baca hari ini artikel di surat kabar, buku, atau novel? Dapatkah kamu ceritakan informasi atau isi teks yang telah kamu baca? Pada intinya, membaca dilakukan untuk memperleh informasi penting. Informasi penting tersebut disebut ide pokok. Untuk itu, setiap kali membaca, temukan ide pokok yang terdapat dalam teks yang dibaca.
3. Menyampaikan Gagasan dan Tanggapan dalam Diskusi
Kemahiran berbicara dapat mengangkat citra seseorang dalam kehidupannya, baik secara persnal maupun secara ssial. Banyak orang terkenal karena kemahirannya dalam menyampaikan gagasan dan tanggapan dalam berbagai kesempatan. Pada pembelajaran ini, kamu akan berlatih menyampaikan gagasan dan tanggapan dengan alasan yang logis.
Sebagai latihan permulaan, untuk menumbuhkan keberanian berbicara dapat dilakukan dengan cara berkmunikasi dengan teman sebangku. Kamu dapat menyampaikan beberapa hal yang sedang dilakukan, kemudian tanyakan hal-hal yang belum dipahami, dan berikan tanggapan atas pendapat yang dikemukakan temanmu.
Sesuai dengan asal katanya discuti atau discusium (bahasa Latin) yang berari ’bertukar pikiran’, diskusi merupakan ajang bertukar pikiran secara teratur dan terarah dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan beRosama mengenai suatu masalah. Arsjad dan Mukti (1991: 37) berpendapat bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam diskusi yakni:
1. ada masalah yang dibicarakan;
2. ada seseorang yang bertindak sebagai pemimpin diskusi;
3. ada peserta sebagai anggta diskusi;
4. setiap anggta mengemukakan gagasannya dengan teratur;
5. jika ada kesimpulan dan keputusan yang diambil harus disetujui beRosama.
Pada saat menyampaikan suatu gagasan, hendaknya disampaikan secara jelas agar ruang lingkup pembahasannya terarah. Peserta diskusi dapat mengajukan pertanyaan dan tanggapan tentang hal yang dikemukakan. Tanggapan yang disampaikan dapat berupa persetujuan atau penlakan terhadap pendapat yang disampaikan. Agar tanggapanmu dapat diterima dan dipahami, sebaiknya berikan argumen logis yang dapat mendukung atau menentang pendapat pembicara.
Lakukan dengan saksama kegiatan diskusi, sehingga akan melatihmu menyampaikan pendapat, mengajukan pertanyaan, dan menyampaikan tanggapan atau sanggahan dengan baik. Penyampaian pendapat, pertanyaan, tanggapan, sanggahan, persetujuan, atau penlakan harus disesuaikan dengan pokok masalah yang dibahas sehingga tidak akan terjadi penyimpangan makna dan keluar dari permasalahan.
Perhatikan ilustrasi berikut! Suatu diskusi membahas pentingnya Pendidikan Seks pada Usia Dini, akan muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut.
Kalimat pertanyaan : bagaimanakah cara menyampaikan pendidikan seks pada anak usia dini?”
Kalimat persetujuan : Saya setuju pendidikan seks diberikan sejak anak usia dini karena usia tersebut merupakan fndasi yang harus kuat untuk meniti masa depan.
Kalimat penlakan : Saya tidak setuju bahwa pendidikan seks diberikan pada anak usia dini karena daya nalar mereka belum bekerja secara ptimal,lebih baik dimulai pada anak-anak usia sekolah dasar .
Kalimat tanggapan : Menanggapi pendapat yang sudah disampai-kan teman-teman terdahulu, pendidikan seks memang sangat penting, tetapi kita harus mempertimbangkan siapa, apa, dan bagaimana cara menyampaikannya. Sebenarnya kita dapat saja mulai pada anak usia dini, tetapi cara menyampaikan dan topik yang disampaikannya harus sesuai dan dekat dengan kehidupan anak.

4. Menulis Laporan Diskusi dengan Melampirkan Ntula dan Daftar Hadir
Pada kegiatan pembelajaran yang lalu, kamu sering melakukan kegiatan diskusi untuk membahas berbagai hal. Dalam kegiatan diskusi tersebut ada teman yang berperan sebagai pembicara, mderatr, dan ada notulis. Pembicara adalah orang yang menyampaikan dan membahas topik permasalahan yang didiskusikan. Mderatr adalah orang mengatur jalannya diskusi. Notulis adalah orang yang bertugas untuk membuat ntula (catatan rapat/hasil diskusi).
Menulis laporan hasil diskusi adalah salah satu tugas seorang notulis. Laporan yang disampaikan harus dapat menyajikan fakta secara oobjektif tentang keadaan atau kegiatan yang telah dilaksanakan. Fakta oobjektif yang disajikan menjadi tanggung jawab notulis yang membuat laporan diskusi tersebut. Menyusun laporan hasil diskusi adalah tugas notulis. Untuk itu, notulis harus mengikuti jalannya diskusi dengan cermat agar dapat mencatat segala hal yang berkaitan dengan kegiatan dan jalannya diskusi. 
Hal-hal yang perlu dicatat notulis antara lain: gagasan pokok yang disampaikan pembicara, pertanyaan, sanggahan, kmentar, atau saran dari peserta diskusi. Selain itu, notulis juga bertugas meresume pembicaraan, mencatat suasana jalannya diskusi, serta mengedarkan dan merekap daftar hadir diskusi. format berikut!
Laporan Hasil Diskusi
1. Topik diskusi : ....................................................
2. Pelaksana kegiatan : ....................................................
3. Hari, tanggal, waktu : ....................................................
4. Penyaji makalah : ....................................................
5. Peserta : ....orang (daftar hadir terlampir)
6. Judul makalah : ....................................................
7. Mderatr : ....................................................
8. Notulis : ....................................................
9. Jalan diskusi : ....................................................
Seminar dibukaoleh mderatr, pukul : ........................
Penyampaian materioleh penyaji : ........................
Tanggapan peserta : ........................
N. Nama Tanggapan/ Pertanyaan/ Tanggapan Balik
1. ............ ..................................................................
2. ............ ..................................................................
3. ............ ..................................................................

Diskusi ditutupoleh mderatr pukul : ........................
a. Dengan kesimpulan diskusi:
1) ...................................................................................
2) ...................................................................................
3) ...................................................................................
b. Saran-saran:
1) ...................................................................................
2) ...................................................................................
3) ...................................................................................

Laporan hasil diskusi akan lebih lengkap jika diberi lampiran. Lampiran berupa makalah, ntula, dan daftar hadir peserta.

5. Memberikan Kritik dan Saran Terhadap Laporan Lisan
Keterampilan menyimak hendaknya dikuasai setiap orang yang ingin meningkatkan kualitas hidup dan intelektualitasnya. Menyimak bukan sekadar mendengar, tetapi mendengarkan dengan saksama dan penuh perhatian.oleh karena itu, penyimak yang baik harus dapat menyerap dan memahami topik-topik yang disimak.
Pada pelajaran ini, kamu dilatih untuk menyimak secara kritis sehingga mampu memberikan kritik dan saran atas kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam laporan yang akan dipeordengarkan.
Untuk dapat menyimak laporan dengan baik, berknsentrasilah dengan saksama dan catatlah pokok-pokok informasi yang disampaikan! Banyak orang yang merasa takut dikritik karena banyak yang beoranggapan bahwa kritikan sama dengan hinaan atau hujatan. Perlu disadari bahwa kritik merupakan uraian atau pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu. 
Manusia kebanyakan takut ketahuan kekurangan atau kesalahannya, banyak yang menghindar bahkan marah kalau dikritik dan diberi saran. Hal itu sangat keliru karena kritik sebenarnya untuk memperbaiki kesalahan dan menyempurnakan kekurangan.oleh karena itu, kita harus terbuka dan lapang dada terhadap kritik kalau ingin lebih baik.
Menyampaikan kritik dan saran harus dilakukan secara bijaksana. Kritik dan saran yang disampaikan harus didukung bukti nyata secara oobjektif. Saran merupakan pendapat berupa anjuran, usulan, harapan, dan cita-cita yang dikemukakan untuk dipertimbangkan. Agar penilaian itu oobjektif, perlu disertai dengan bukti dan alasan yang kuat. Rujuklah sumber-sumber referensi yang relevan agar alasan dan bukti yang kamu kemukakan akurat!

6. Mengajukan Saran Perbaikan Secara Lisan
Dalam kehidupan sehari-hari, arus informasi dan kmunikasi terus berkembang, baik melalui media cetak maupun media elektrnik. Sebagai siswa, kamu pasti membutuhkan berbagai informasi untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan kemampuan. Untuk itu, kamu dapat melakukannya dengan cara membaca dan menyimak informasi yang disampaikan secara langsung di sekolah dan di luar sekolah, melalui media cetak, dan media elektrnik.

7. Menanggapi Pembacaan Novel dan Unsur-unsur Intrinsik Novel
Tentu merupakan pengalaman yang menyenangkan kalau kita membaca novel. Kita dapat menceritakan kembali jalan ceritanya, tokoh-tokohnya, konflik yang terjadi antartokohnya. Novel merupakan karya sastra yang berbentuk prosa yang berisi tentang sekelumit kehidupan manusia.
Novel merupakan karya prosa fiksi yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku ( Depdikbud, 1997 : 694).
Unsur-unsur novel atau cerpen 
1. Penokohan 
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Panuti Sudjiman, 1988:16). 
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti Sudjiman (1966:25). 
Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17). 
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo dkk, 11984:91). 
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung, melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32). 
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam Aminuddin, 1984). 
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian (Atar Semi, 1988:37-38). 
2. Alur 
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83). 
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster, 1971:93). 
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan terhadap tujuan dalam karya sastra. 
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu : (1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2) generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3) ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaitu peristiwa mencapai puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa. 
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai alur balik (regresif). 
Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29). 
Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur renggang atau terjadi pencabangan cerita. 
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu. Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas. 
Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap tidak penting. 
3. Latar 
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68). 
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar sebagai berikut :
1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya. 
2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita. 
3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang bermanfaat dan berguna. 
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana tertentu dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para tokoh dapat dirasakan oleh pembaca. 
4. Sudut Pandang 
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view (Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi (1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu. 
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9). 
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator. 
5. Gaya 
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media bahasa yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan, tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37). 
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya umumnya dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena cerita pada dasarnya bermediakan bahasa. 


5.1 Gaya Bahasa 
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112). 
Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya. 
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik pengarang tersebut. 
Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang. Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1) gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan penguatan. 
5.2 Gaya Berbicara 
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi pembaca. 
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63). 


6. Tema 
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas, karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal. 
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur. 
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin (1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca 
2) Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca. 
3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca. 
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca. 
5) Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 
6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan. 
7) Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. 
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan. 
Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema, seorang pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar